Friday, May 13, 2016

PENGEMBANGAN HUKUM LINGKUNGAN
1. Dampak Negatif Masalah-Masalah Lingkungan sebagai Pendorong.
Penggundulan hutan, lahan kritis, menipisnya lapisan ozon, tumpahan minyak di laut, ikan mati di anak sungai karena zat-zat kimia, dan punahnya species tertentu adalah beberapa contoh dari masalah-masalah lingkungan hidup. Dalam literature masalah-masalah lingkungan dapat dikelompokkan ke dalam tiga bentuk, yaitu pencemaran lingkungan (pollution), pemanfaatan lahan secara salah (land misuse) dan pengurasan atau habisnya sumberdaya alam (natural resource depeletion). Akan tetapi, jika dilihat dari perspektif hukum yang berlaku di Indonesia, masalah-masalah lingkungan hanya dikelompokkan ke dalam dua bentuk, yakni pencemaran lingkungan (environmental pollution) dan perusakan lingkungan hidup. Pembedaan masalah lingkungan ke dalam dua bentuk dapat dilihat dalam Undang-Undang No. 4 Tahun 1982 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup (UULH) yang kemudian dicabut oleh Undang-Undang No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPLH). UUPLH juga hanya mengenal dua bentuk masalah lingkungan hidup, yaitu: pencemaran lingkungan dan perusakan lingkungan.
Dalam buku ini, pengertian pencemaran lingkungan adalah sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 1 butir 12 Undang-Undang No. 23 Tahun 1997, yakni:
masuknya atau dimasukkannya makluk hidup, zat, energi, dan/ atau komponen lain ke dalam lingkungan hidup oleh kegiatan, sehingga kualitasnya turun sampai ke tingkat tertentu yang menyebabkan lingkungan hidup tidak berfungsi lagi sesuai dengan peruntukkannya.
Pengertian perusakan lingkungan sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 1 butir 14, yaitu:
tindakan yang menimbulkan perubahan langsung atau tidak langsung terhadap sifat fisik dan/atau hayati yang mengakibatkan lingkungan hidup tidak berfungsi lagi dalam menunjang pembangunan berkelanjutan.
Pengurasan sumberdaya alam (natural resource depletion) diartikan sebagai pemanfaatan sumberdaya alam secara tidak bijaksana sehinga sumberdaya alam itu baik kualitasnya atau kuantitasnya menjadi berkurang atau menurun dan pada akhirnya akan habis sama sekali. Ancaman akan habisnya sumberdaya alam, terutama dapat terjadi pada sumberdaya alam yang tidak terbaharuhi, misalnya minyak bumi, gas alam, batubara atau mineral pada umumnya. Jenis sumberdaya alam yang tak terbaharuhi akan cepat habis sebelum waktunya jika pemanfaatannya tidak disertai dengan kebijakan konservasi. Meskipun beberapa jenis sumberdaya alam tergolong ke dalam sumberdaya alam yang dapat diperbaharuhi atau tersedia secara tetap, kegiatan-kegiatan manusia dapat menyebabkan sumberdaya alam itu menjadi kurang kualitasnya. Misalnya lahan adalah termasuk sumberdaya alam yang terbaharuhi, jika lapisan permukaan tanah terkikis habis, maka lahan menjadi tidak atau berkurang nilainya untuk budidaya pertanian. Hutan termasuk ke dalam sumberdaya alam terbaharuhi, namun penebangan hutan tanpa diiringi oleh reboisasi, maka lambat laun akan terjadi kerusakan lahan. Matahari juga termasuk sumberdaya alam terbaharuhi, tetapi dengan berkurangnya lapisan ozone menyebabkan cahaya matahari menjadi sumber penyakit. Punahnya satwa tertentu dapat mempengaruhi proses-proses ekologis sehingga dapat menyebabkan terganggunya keseimbangan ekologis.
Perbedaan pokok antara pencemaran lingkungan dengan terkurasnya sumberdaya alam adalah bahwa pencemaran dapat terjadi karena masuknya atau hadirnya sesuatu zat, energi atau komponen ke dalam lingkungan hidup atau ekosistem tertentu. Dengan demikian, zat, energi atau komponen itu merupakan sesuatu yang asing atau yang pada mulanya tidak ada di dalam suatu kawasan lingkungan hidup kemudian hadir atau dimasukan oleh manusia. Sebaliknya, pengurasan sumberdaya alam mengandung arti sumberdaya alam yang terletak atau hidup di dalam konteks asalnya atau kawasan asalnya, kemudian oleh manusia diambil sehingga terjadilah perubahan.
Dampak negatif dari menurunnya kualitas lingkungan hidup baik karena terjadinya pencemaran atau terkurasnya sumberdaya alam adalah timbulnya ancaman atau dampak negatif terhadap kesehatan, menurunnya nilai estetika, kerugian ekonomi (economic cost), dan terganggunya sistim alami (natural system). .
1.1. Kesehatan.
Dampak terhadap kesehatan manusia terutama bersumber dari pencemaran lingkungan. Dampak pencemaran lingkungan seringkali baru dapat dirasakan setelah beberapa tahun atau puluhan tahun sejak masuknya suatu zat ke dalam lingkungan hidup. Zat-zat kimia tertentu memerlukan proses akumulatif hingga sampai waktu tertentu – yang manusia tidak dapat mengetahuinya dengan pasti – barulah dampaknya dirasakan dan dilihat oleh manusia. Dengan demikian, pencemaran lingkungan seringkali mengandung adanya resiko terhadap kesehatan manusia.
Beberapa peristiwa pencemaran lingkungan di negara-negara maju, yang menimbulkan dampak negatif terhadap kesehatan masyarakat, antara lain adalah pencemaran merkuri di Teluk Minamata Jepang, pencemaran udara di london 1952, pencemaran udara di Pennsylvania 1948, pencemaran di Love Canal, A.S., pencemaran Sungai Wabigon di Kanada. Di Indonesia memang belum pernah terjadi peristiwa-peristiwa pencemaran lingkungan hidup yang spektakuler seperti peristiwa pencemaran tersebut di atas, yang terjadi di negara-negara maju. Namun beberapa indikasi pencemaran telah terjadi di beberapa tempat di Indonesia, misalnya kasus pencemaran lingkungan yang kemudian telah menimbulkan sengketa-sengketa lingkungan. Beberapa kasus-kasus sengketa lingkungan diselesaikan melalui proses pengadilan dan sebagian lain diselesaikan melalui proses mediasi. Kasus lingkungan di Indonesia yang baru-baru ini menjadi perhatian di tingkat nasional adalah kasus pencemaran laut di teluk Buyat, Propinsi Sulawesi Utara. Kasus pencemaran di Teluk Buyat ini terjadi akibat limbah merkuri yang diduga berasal dari kegiatan tambang emas.
1.2. Estetika
Dewasa ini, orang mengharapkan dapat menikmati lingkungan hidup yang baik dan sehat. Hal ini berarti tidak sekedar ingin bebas dari pencemaran lingkungan hidup yang dapat membahayakan kesehatan mereka, tetapi juga bebas dari gangguan-gangguan lain, yang meskipun tidak terlalu membahayakan kesehatan tetapi dapat merusak segi-segi estetika dari lingkungan hidup mereka atau lingkungan tempat tinggal mereka. Jadi masalah keindahan (estetika) dan kebersihan juga merupakan kepedulian banyak orang. Masyarakat di negara maju, terutama, menolak adanya gangguan-gangguan berupa bau, kebisingan atau kabut yang melanda tempat tinggal mereka.
1.3. Kerugian Ekonomi.
Kerugian ekonomi yang diakibatkan oleh timbulnya masalah-masalah lingkungan dapat mencapai ratusan juta. Secara umum dapat digambarkan kerugiabn-kerugian ekonomi yang diderita oleh para penderita pencemaran berupa biaya pemeliharaan atau pembersihan rumah, biaya perobatan atau dokter, dan hilang atau lenyapnya mata pencarian. Sungai yang tercemar menyebabkan nelayan yang biasa menangkap ikan menjadi kehilangan matapencaharian. Para petani akan mengalami kerugian karena sawahnya atau tambak ikannya rusak karena zat-zat pencemar. Kegiatan-kegiatan rekreasi seperti berenang, berperahu, memancing ikan menjadi terganggu atau lenyap sama sekali karena sungai, laut atau danau yang tercemar tidak lagi layak untuk rekreasi. Bagi masyarakat modern, rekreasi merupakan suatu kebutuhan penting.
1.4. Terganggunya Ekosistim Alami.
Kegiatan manusia dapat merubah sistim alami. Misanya penebangan atau penggundulan hutan dapat mengubah iklim global, terjadinya musim kering yang luar biasa atau timbulnya badai. Begitu pula penggundulan hutan dan pengembalaan ternak dalam jumlah besar secara tidak bijaksana dapat menimbulkan terjadinya gurun pasir atau memperluas gurun pasir yang telah adaseperti yang terjadi di gurun sahara, Afrika Utara. Pembangunan dam juga dapat mengubah sistim ekologis suatu kawasan, yang akibat-akibatnya tidak dapat segera diketahui oleh manusia.
2. Faktor-Faktor Penyebab Terjadinya Masalah-Masalah Lingkungan.
Para sarjana tidak mempunyai pandangan yang sama tentang sebab-sebab timbulnya masalah-masalah lingkungan. Berdasarkan sudut padang para sarjana, maka setidak-tidaknya ada lima faktor yang melatarbelakangi timbulnya masalah-masalah lingkungan, yakni teknologi, penduduk, ekonomi, politik dan tata nilai moral, keagamaan serta budaya.
2.1. Teknologi.
Barry Commoner dalam bukunya “the Closing Circle” melihat bahwa teknologi merupakan sumber terjadinya masalah-masalah lingkungan. Terjadinya revolusi di bidang ilmu pengetahuan Alam misalnya fisika dan kimia, yang terjadi selama lima puluh tahun terakhir, telah mendorong perubahan-perubahan besar di bidang teknologi. Selanjutnya hasil-hasil teknologi itu diterapkan dalam sektor industri, pertanian, trasportasi dan komunikasi. Berdasarkan pengamatan di Amerika Serikat, Commoner menunjukkan terjadinya masalah lingkungan, terutama pencemaran lingkungan meningkat setelah Perang Dunia II. Ia memberikan contoh-contoh sebagai berikut, bahwa pospat antara 1940-1970 naik tujuh kali lipat atau sekitar 300 juta pound per tahun, nitrogen oksida, yang berasal dari kendaraan bermotor, mencapai 650 persen, lead, yang berasal dari premium, mencapai 415 persen, merkuri, yang berasal dari industri, mencapai 2.100 persen, pestisida sintetis mencapai 270 persen, pupuk nitrogen unorganik mencapai 789 persen. Menurut Commoner, sebelum Perang Dunia II, zat-zat pencemar tersebut di atas sama sekali tidak ada.
2.2. Pertumbuhan Penduduk.
Ehrlich dan Holdren menekankan, bahwa pertumbuhan penduduk dan peningkatan kekayaan memberikan sumbangan penting terhadap penurunan kualitas lingkungan hidup. Mereka menolak pandangan Commoner bahwa pengembangan dan penerapan teknologi baru ke dalam berbagai sektor yang dimulai pada tahun 1940 sebagai penyebab terjadinya masalah-masalah lingkungan.
Ehrlich dan Holdren berpendapat bahwa jauh sebelum teknologi maju dikembangkan seperti apa adanya dewasa ini, bumi, tempat hidup manusia ini, telah mengalami bencana lingkungan. Meraka menunjukan beberapa contoh, yakni terjadinya gurun pasir di lembah Sungai Euphrate dan Sungai Tigris, yang pada zaman sebelum masehi terkenal sebagai kawasan subur. Terjadinya kerusakan pada kawasan yang semula subur itu disebabkan oleh sistim irigasi yang gagal dan pembukaan lahan yang terus menerus akibat pertumbuhan penduduk sehingga semakin luas lahan pertanian berdasarkan sistim irigasi. Di kawasan-kawasan yang curah hujannya rendah, kegagalan pengelolaan irigasi seringkali menimbulkan masalah-masalah lingkungan hidup yang serius, yaitu terjadinya masalah salinisasi (peningkatan kandungan garam di tanah). Kawasan-kawasan yang curah hujannya rendah mengalami tingkat penguapan yang tinggi, sehingga telah menyebabkan kekeringan irigasi. Kekeringan air irigasi sangat potensial menyebabkan terjadinya gurun pasir. Terjadinya kegagalan irigasi tidak saja dihadapi oleh negara-negara berkembang, tetapi juga negara-negara maju. Misalnya Lembah Imperial di California, A.S. yang terpaksa di tinggalkan oleh para petani yang semula tinggal dan mengelola kawasan tersebut karena lahan-lahan di kawasan itu kandungan garamnya meningkat sehingga kesuburan lahan menurun.
Ehrlich dan Holdren juga melihat bahwa usaha peternakan yang berlebihan dan praktek usaha pertanian yang salah telah menyebabkan terjadinya malapetaka lingkungan, yakni terjadinya gurun pasir. Contoh nyata adalah semakin meluasnya Gurun Sahara di Afrika Utara. Terjadinya perluasan Gurun Sahara dikarenakan usaha peternakan yang telah melampaui dayadukung lingkungan (carrying capacity). Di banyak tempat di Benua Eropah, Asia, dan Afrika telah terjadi penggundulan hutan (deforestration), penggembalaan ternak besar-besaran dan pertanian yang salah pada Zaman Pra Industri yang telah mengakibatkan terjadinya erosi tanah. Pada akhirnya, erosi tanah ini dapat mengakibatkan terjadinya gurun atau padang pasir.
2.3. Motif Ekonomi.
Hardin dalam karya tulisnya “The Tragedy of the Commons” melihat bahwa alasan-alasan ekonomi yang seringkali menggerakkan perilaku manusia atau keputusan-keputusan yang diambil oleh manusia secara perorangan maupun dalam kelompok, terutama dalam hubungannya dengan pemanfaatan common property. Common property adalah sumber-sumberdaya alam yang tidak dapat menjadi hak perorangan, tetapi setiap orang dapat menggunakan atau memanfaatkannya untuk kepentingan masing-masing. Common property itu meliputi sungai, padang rumput, udara, laut. Karena sumberdaya itu dapat dan bebas untuk dimanfaatkan oleh setiap orang untuk memenuhi kebutuhannya masing-masing, maka setiap orang berusaha dan berlomba-lomba untuk memanfaatkan atau mengeksploitasi sumberdaya semaksimal mungkin guna perolehan keuntungan pribadi yang sebesar-besarnya. Setiap orang berfikir, bahwa kalaupun ia berusaha menggunakan sumber daya secara bijaksana hal itu akan sia-sia saja karena orang lain tidak berfikir dan berbuat demikian, sehingga orang yang pada mulanya memikirkan upaya konservasi atau perlindungan sumber daya alam akan merasa kehilangan motivasi untuk melakukan upaya-upaya konservasi. Pada akhirnya tiap orang berfikir egoistis dan berpacu untuk mengeksploitasi sumber daya alam yang mengakibatkan pe nurunan kualitas dan kuantitas sumberdaya alam. Pada akhirnya semua orang atau masyarakat secara keseluruhan yang akan menderita kerugian. Jadi adanya kebebasan untuk mengeksploitasi sumberdaya alam akan membawa kehancuran bagi masyarakat. Keadaan inilah yang oleh Hardin disebut dengan “tragedy of the commons”.
2.4. Tata Nilai.
Sebahagian pakar berpendapat bahwa timbulnya masalah-masalah lingkungan disebabkan oleh tata nilai yang berlaku menempatkan kepentingan manusia sebagai pusat dari segala-galanya dalam alam semesta. Nilai dari segala sesuatu yang ada di alam semesta dilihat dari kepentingan manusia semata. Tata nilai yang dimiliki ini dikenal dengan istilah anthropocentric atau homocentric. . Berdasarkan kaidah antroposentris, alam semesta atau lingkungan hidup dilindungi semata-mata untuk kepentingan manusia. Sumberdaya alam yang terdapat dalam alam semesta dipandang sekedar sebagai objek untuk pemenuhan kebutuhan manusia.
Berdasarkan wawasan pandang antroposentris, meskipun manusia pada asalnya diciptakan oleh Tuhan dari tanah liat, manusia bukanlah sebagian dari alam. Manusia adalah hasil daya cipta Tuhan. Selanjutnya, manusia itu diciptakan untuk mengatur dan menaklukan alam. Kaidah-kaidah yang berlaku di antara masyarakat manusia tidak berlaku terhadap benda-benda alam atau makhluk alam lainnya, seperti hewan, pohon-pohonan. Dengan demikian wawasan pandang antroposentris menimbulkan dualisme antara manusia di satu pihak dan alam semesta serta makluk lainnya di lain pihak. Oleh sebab itu, eksploitasi terhadap alam semesta, menurut wawasan pandang antroposentris, harus dilihat sebagai perwujudan kehendak Tuhan. Manusia apa dasarnya diciptakan oleh Tuhan untuk menguasai dan menaklukkan alam.
Wawasan pandang antroposentris itu telah mendapat tantangan dari kalangan aktivis gerakan lingkungan (environmentalists) karena dua alasan. Pertama, manusia adalah bahagian dari alam. Manusia hanyalah merupakan satu di antara spesies organis yang hidup dalam suatu sistim yang saling tergantung. Oleh sebab itu, perlu dipertahankan berlakunya wawasan pandang yang melihat semua unsur-unsur dalam alam semesta sebagai suatu kesatuan. Kepedulian manusia seyogianya tidak hanya terbatas pada diri manusia saja, tetapi juga diperluas meliputi makluk-makluk lain dalam alam semesta. Kedua, hewan-hewan sebagai makhluk alam yang – seperti manusia – juga mempunyai rasa sakit seharusnya diakui haknya sebagai suatu kaidah moral manusia.
Salah satu di antara kaum moralis ekologis yang mengusulkan perlunya suatu perubahan wawasan pandang antroposentris adalah Aldo Leopold. Leopold mengusulkan perlunya pengembangan kaidah etik baru yang bersifat holistik. Kaidah itu berlaku bagi suatu komunitas biotik yang meliputi semua makhluk yang punya rasa sakit dan nikmat. Kebutuhan dan kepentingan tiap-tiap makhluk merupakan dasar penentuan dari baik atau tidaknya suatu tindakan.
3. Lahirnya Kesadaran Lingkungan dan Kebijaksanaan Pembangunan Berwawasan Lingkungan di Tingkat Global dan Regional.
3.1. Konferensi PBB tentang Lingkungan Hidup.
Konferensi PBB tentang lingkungan hidup diselenggarakan pada tanggal 5 – 16 Juni 1972 di Stockholm, Swedia. Literatur hukum lingkungan umumnya merujuk Konferensi Stockholm sebagai cikal bakal dari tumbuh dan perkembangan hukum lingkungan internasional maupun nasional karena Konferensi ini menghasilkan sebuah dokumen, yaitu: Deklarasi tentang Lingkungan Hidup Manusia – yang juga disebut sebagai Deklarasi Stockholm – yang dianggap sebagai sumber bagi pengembangan hukum lingkungan. Deklarasi Stockholm terdiri atas Preamble dan 26 asas. Selain itu, Konferensi Stockholm juga menghasilkan dokumen-dokumen berikut:
Rencana Tindak (Action Plan), yang terdiri atas 109 rekomendasi;
Rekomendasi tentang kelembagaan dan keuangan yang terdiri dari :
a. Dewan Pengurus (Governing Council) Program Lingkungan Hidup (the UN Environment Programme = UNEP);
b. Sekretariat, yang dipimpin oleh seorang Direktur Eksekutif;
c. Dana lingkungan hidup;
d. Badan Koordinasi Lingkungan Hidup.
Konferensi itu juga menetapkan bahwa tanggal 5 Juni sebagai “Hari Lingkungan Hidup Seduni.”
3.2. Konferensi PBB tentang Lingkungan Hidup dan Pembangunan
Pada tahun 1983 Majelis Umum PBB membentuk sebuah badan, yaitu the World Commission on Environment and Development (WECD) yang diketuai oleh Perdana Menteri Norwegia, Gro Harlem Bruntland. Komisi ini juga dikenal dengan sebutan Komisi Bruntland… WECD diserahi tugas sebagai berikut:
a. reexamine the critical issue of the environment and development, and formulate innovative, concrete, and realistic action proposals to deal with them;
b. strengthen international cooperation on environment and development, and assess and propose new forms of cooperation that can break out of existing patterns and influence policies and events in the direction of needed changes, and
c. raise the level of understanding and commitment to action on the part of individuals, voluntary organizations, business, institutes and governments.
Komisi Bruntland atau WECD menghasilkan sebuah laporan yang kemudian dipublikasikan “Our Common Future”. Laporan ini memuat pendekatan terpadu terhadap masalah-masalah lingkungan hidup dan pembangunan. Dalam laporan itu, Komisi Bruntland tidak menciptakan istilah pembangunan berkelanjutan (sustainable development), tetapi telah menggunakan dan mempopulerkan istilah itu, serta merumuskan definisi dari pembangunan berkelanjutan, yaitu: “development that meets the needs of the present without comprimising the ability of future generations to meet their own needs”. .
Untuk menindaklanjuti rekomendasi-rekomendasi Laporan Komisi Bruntland, Majelis Umum PBB memutuskan untuk menyelenggarakan Konferensi di Rio de Janeiro, Brasil 1992. Konferensi ini dihadiri oleh 178 utusan negara, 115 Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan, 1400 orang perwakilan Lembaga Swadaya Masyarakat. Karena peserta Konferensi Rio mewakili berbagai kepentingan dan negara di dunia, maka Konferesni itu juga disebut sebagai Earth Summit. Konferensi Rio atau Earth Summit menghasilkan kesepakatan berikut:
a. Deklarasi Rio tentang Lingkungan Hidup dan Pembangunan;
b. Konvensi tentang Keanekargaman Hayati (the Biodiversity Convention);
c. Konvensi tentang Perubahan Iklim (the Climatic Change Convention),
d. Agenda 21, sebuah dokumen 800 halaman yang berisi “cetak biru” pembangunan berkelanjutan di abad 21;
e. Prinsip-prinsip pengelolaan hutan yang tidak mengikat;
f. Pengembangan lebih lanjut instrumen-instrumen hukum dari Konvensi tentang Desertifikasi, Konvensi Pencemaran Laut yang bersumber dari Daratan,
g. Perjanjian untuk membentuk Komisi tentang Pembangunan Berkelanjutan yang tugasnya memantau pelaksanaan kesepakatan-kesepakatn Rio dan Agenda 21.
Deklarasi Rio tentang Lingkungan Hidup dan Pembangunan yang juga disebut sebagai the Earth Charter merupakan “soft-law agreements”, yang memuat 27 prinsip. Beberapa prinsip yang menjadi unsur penting konsep pembangunan berkelanjutan adalah:
a. prinsip kedaulatan dan tangggungjawab negara (prinsip 2);
b. prinsip keadilan antar generasi (prinsip 3);
c. prinsip keadilan intra generasi (prinsip 5 dan 6);
d. prinsip keterpaduan antara perlindungan lingkungan hidup dan pembangunan (prinsip 4);
e. prinsip tanggungjawab bersama tetapi berbeda ( Prinsip 7);
f. prinsip tindakan pencegahan (prinsip 11)
g. prinsip bekerjasama dan bertetangga baik dan kerjasama internasional (prinsip 18, 19 dan 27));
h. prinsip keberhati-hatian (prinsip 15);
i. prinsip pencemaran membayar (prinsip 16);
j. prinsip demokrasi dan peranserta masyarakat (prinsip 10).
Seperti halnya Deklarasi Stockholm, Deklarasi Rio juga memuat prinsip-prinsip yang dipandang sebagai sumber pengembangan hukum lingkungan nasional dan internasional. Oleh sebab itu, makna prinsip-prinsip tersebut akan diuraikan secara singkat pada bagian berikut.
Prinsip kedaulatan dan tanggungjawab negara
Prinsip kedaulatan dan tanggungjawab negara (souvereignty and state responsibility) ini dirumuskan dalam prinsip ke 2 Deklarasi Rio yang lengkapnya berbunyi:
States have, in accordance with the Charter of the United Nations and the principles of international law, the sovereign right to exploit their own resources pursuant to their own environmental and developmental policies, and the responsibility to ensure that activities within their jurisdiction or control do not cause damage to the environment of other states or of areas beyond the limits of national jurisdiction.
Prinsip kedaulatan dan tanggungjawab negara mengandung makna, bahwa tiap negara diakui kedaulatannya untuk memanfaatkan sumber daya alam dan lingkungan hidup yang berada dalam batas-batas territorial atau jurisdiksi negara yang bersangkutan. Namun, kedaulatan atau hak pemanfaatan itu harus disertai dengan tanggungjawab, yaitu pemanfaatan itu tidak boleh menimbulkan kerugian terhadap negara-negara lain atau wilayah-wilayah di luar batas jurisdiksi negara itu. Prinsip ini sesuai dengan adagium latin, yaitu: sic utere tuo ut alienum non laedas” yang mengandung makna “gunakan hak anda sedemikian rupa agar tidak menimbulkan kerugian pada orang lain”. Prinsip kedaulatan dan tanggungjawab negara amat relevan sekali dalam konteks hukum international.
Prinsip keadilan antar generasi
Prinsip keadilan antar generasi (intergenerational equity) dirumuskan dalam prinsip ke 3 Deklarasi Rio yang lengkapnya berbunyi sebagai berikut: “The Right to development must be fulfilled so as to equitably meet developmental and environmental needs of present and future generations.” Prinsip keadilan antar generasi mengandung makna, bahwa pemanfaatan sumber daya alam dan lingkungan hidup oleh generasi sekarang tidak boleh mengorbankan kepentingan atau kebutuhan generasi masa datang atas sumber daya alam dan lingkungan hidup. Prinsip ini juga mengandung makna, bahwa generasi sekarang memiliki kewajiban untuk menggunakan sumber daya alam secara hemat dan bijaksana serta melaksanakan konservasi sumber daya alam, sehingga sumber daya alam tetap tersedia dalam kualitas maupun kuantitas yang cukup untuk dimanfaatkan oleh generasi masa datang. Adalah tidak bijaksana jika generasi sekarang meninggalkan sumber-sumber air, tanah dan udara yang telah tercemar, sehingga generasi masa datang tidak lagi dapat memanfaatkan sumber daya alam untuk memenuhi kebutuhan mereka. Prinsip keadilan antar generasi diharapkan menjadi dasar bagi pengembangan hukum lingkungan nasional maupun hukum internasional.
Di Philipina keberadaan prinsip keadilan antar generasi ini telah diuji dan dikaui keberadaanya melalui putusan Mahkamah Agung Philipina. Kasusnya bermula dari gugatan yang diajukan oleh Tony Oposa, seorang advokat yang merasa prihatin terhadap keputusan pemerintah Philipina yang mengeluarkan izin-izin untuk penebangan kayu hutan sementara luas kawasan hutan sudah amat berkurang, sehingga generasi mendatang dikhawatirkan tidak lagi dapat menikmati lingkungan hidup yang sehat dan seimbang (balanced and healthful ecology). Tony Oposa kemudian mengajukan gugatan perwakilan atas namanya dan generasinya, atas nama anak dan generasi anaknya serta atas nama cucu dan generasi cucunya yang masih belum lahir sebagai generasi masa datang terhadap pemerintah yang telah mengeluarkan izin penebangan kayu hutan. Pengadilan tingkat pertama maupun tingkat banding menolak adanya hak Tony Oposa untuk mengggugat, baik atas namanya sendiri maupun atas nama anak dan cucunya sebagai generasi masa datang. Akan tetapi, Mahkamah Agung Philipina mengakui adanya hak gugat Tony Oposa atas namanya sendiri maupun mewakili generasi masa datang. Mahkamah Agung Philipina, antara lain , mengatakan:
Petitioners minors assert that they represent their generation as well as generations yet unborn. We find no difficulty in ruling that they can, for themselves, for others of their generations and for the succeeding generations, file a class suit. Their personality to sue in behalf of the succeeding generations can only be based on the concept of intergenerational responsibility insofar as the right to a balanced and healthful ecolicy is concerned. Nature means the created world in its entirety. Such rhythm and harmony indispensable include, inter alia, the judicious disposition, utilization, management, renewal, and conservation of the country’s forest, mineral, land, waters, fisheries, wildlife, offshores areas and other natural resources to the end that their exploration, development and utilization be equitably accessible to the present as well as future generations. Needless to say, every generation has a responsibility to the next to preserve that rhythm and harmony for the full enjoyment of a balanced and healthful ecology. Put a little differently, the minor’s assertion of the right to a sound environment constitutes, at the same time, the performance of their right obligation to ensure the protection of that right for the generation to come.
Prinsip keadilan intra generasi
Prinsip keadilan intra generasi (intragenerational equity) tercermin dalam Prinsip ke 5 dan 6 Deklarasi Rio. Prinsip 5 menyatakan: “All states and all people shall cooperate in the essential task of eradicating poverty as an indespensible requirement for sustainable development, in order to decrease the disparities in standards of living and better needs of the majority of the people of the world.”
Prinsip 6 Deklarasi Rio berbunyi sebagai berikut: “The special situation and needs of developing countries, particularly the least developed and those most environmentally vulnerable, shall be given special priority. International actions in the field of environment and development should also address the interests and needs of all countries.”
Prinsip keadilan intra generasi relevan bagi pengembangan hukum nasional maupun hukum internasional. Dalam konteks hukum nasional, prinsip ini mengandung makna, bahwa kemiskinan dan kesenjangan kehidupan dalam masyarakat merupakan masalah–masalah yang perlu diberantas. Oleh sebab itu, akses pemanfaatan atas sumber daya alam tidak boleh hanya dimonopoli oleh kelompok tertentu, tetapi sumber daya alam semestinya menjadi modal untuk peningkatan kehidupan masyarakat secara keseluruhan. Salah satu contoh kebijakan yang bertentangan dengan prinsip keadilan intra generasi adalah kebijakan kehutanan berdasarkan Undang-undang No. 5 Tahun 1967 tentang Ketentuan Pokok Kehutanan dan PP No. 21 Tahun 1970 tentang Hak Pengusahaan Hutan dan Hak Pemunguta Hasil Hutan yang memberi Hak Pengusahaan Hutan (HPH) hanya kepada perusahaan-perusahaan swasta yang dikuasai oleh beberapa gelintir orang atau keluarga, sehingga kawasan-kawasan hutan Indonesia dikuasai oleh beberapa orang atau keluarga saja. Di sisi lain, masyarakat adat yang tinggal di dalam atau di sekitar kawasan hutan tetap hidup miskin dan seringkali haknya untuk memanfaatkan sumber daya hutan ditolak oleh para pemegang HPH maupun oleh aparat pemerintah, sehingga muncul berbagai kasus sengketa antara masyarakat adat dengan pemegang HPH dan aparat kehutanan. Namun, setelah era reformasi, Pemerintah Republik Indonesia mengundangkan Undang-undang No. 41 tahun 1999 tentang Kehutanan yang mencabut berlakunya Undang-undang No. 5 tahun 1967. Undang-undang No. 41 tahun 1999 memperlihatkan perubahan kebijakan ke arah pengakuan hak-hak masyarakat adat dalam pengelolaan hutan.
Masalah lain yang harus dilihat dari prinsip keadilan intra generasi adalah bahwa penduduk kelompok miskin seringkali memikul beban dan biaya lingkungan. Penduduk kelompok miskin lebih sering mengalami ancaman masalah-masalah lingkungan misalkan pencemaran air, pencemar limbah bahan berbahaya dan beracun sementara manfaat dari industrialisasi lebih dinikmati oleh kelompok penduduk kaya.
Di dalam konteks hubungan internasional, prinsip keadilan intra generasi mengandung makna bahwa pembangunan merupakan upaya negara-negara berkembang untuk memenuhi kebutuhan dan memperbaiki kualitas kehidupan mereka. Dewasa ini memang terdapat kesenjangan dalam hal tingkat konsumsi sumber daya alam, khususnya minyak bumi, antara penduduk negara-negara maju dan penduduk negara-negara berkembang. Tingkat konsumsi penduduk negara-negara maju lebih besar daripada tingkat konsumsi penduduk negara-negara berkembang pada hal jumlah penduduk negara-negara maju lebih kecil daripada jumlah penduduk negara-negara berkembang.
Prinsip keterpaduan antara perlindungan lingkungan hidup dan pembangunan
Prinsip keterpaduan antara perlindungan lingkungan dan pembangunan tercermin dalam Prinsip ke 4 Deklarasi Rio yang berbunyi: “In order to achieve sustainable development, environmental protection shall constitute an integral part of the development process and cannot be considered in isolation from it”. Perwujudan dari prinsip keterpaduan antara perlindungan lingkungan hidup dan pembangunan adalah pemberlakukan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) dan perlunya ketersediaan informasi lingkungan dalam proses pengambilan keputusan pemerintahan.
Prinsip tanggungjawab bersama tetapi berbeda
Prinsip tanggungjawab bersama, tetapi berbeda (common but differenctiated principle) dirumuskan dalam Prinsip 7 Deklarasi Rio yang berbunyi:
States shall cooperate in a spirit of global partnership to conserve, protect and restore the health and integrity of the Earth’s ecosystem. In view of the different contributions to global environmental degradation, States have common but differentiated responsibilities. The developed countries acknowledge the responsibility that they bear in the international pursuit of sustainable development in view of the pressure their societies place on the global environment and of the technologies and financial resources they command.
Prinsip ini mengakui adanya tanggungjawab negara-negara maju dalam penanggulangan masalah-masalah lingkungan. Dalam Konvensi Perubahan Iklim negara-negara maju diminta untuk memainkan peran utama dalam penanggulangan masalah perubahan iklim. Namun, konsep tanggungjawab bersama, tetapi berbeda merupakan masalah yang pelik di antara negara-negara maju dan negara-negara berkembang karena masih belum begitu jelas sejauhmana konsep ini mengandung kewajiban hukum negara-negara maju untuk misalkan memberi bantuan keuangan, pembangunan kapasitas, alih teknologi kepada negara-negara berkembang dan toleransi atas ketidaktaatan negara-negara berkembang terhadap konvensi Perubahan Iklim.
Prinsip tindakan pencegahan
Prinsip pencegahan mewajibkan agar langkah pencegahan dilakukan pada tahap sedini mungkin. Dalam konteks pengendalian pencemaran, perlindungan lingkungan paling baik dilakukan dengan cara pencegahan pencemaran daripada penanggulangan atau pemberian ganti kerugian. Dalam Deklarasi Rio prinsip pencegahan dirumuskan dalam Prinsip ke 11 yang, antara lain, berbunyi: “States shall enact effective environmental legislation”.… Prinsip ini juga dipandang sangat berhubungan erat dengan prinsip keberhati-hatian yang diuraikan pada bagian berikut. Kedua prinsip menekankan pentingnya langkah-langkah antisipasi pencegahan terjadinya masalah-masalah lingkungan.
Prinsip keberhati-hatian
Prinsip keberhati-hatian (precautionary principle) dirumuskan dalam Prinsip ke 15 Deklarasi Rio yang berbunyi:
“In order to protect the environment, the precautionary approach shall be widely applied by states according to capabilities. Where there are threats of serious or irreversible damage, lack of full scientific certainty shall not be used as a reason for postponing cost-effective easures to prevent environmental degradation.
Prinsip ini mencerminkan pengakuan bahwa kepastian ilmiah seringkali datangnya terlambat untuk dapat digunakan menjadi dasar pembuatan kebijakan atau pengambilan keputusan. Langkah-langkah pencegahan tidak boleh ditunda hanya karena alasan bahwa kerugian lingkungan belum pasti mewujud atau karena adanya perbedaan pandangan di antara para ahli. Pengetahuan para ahli terhadap hubungan sebab akibat antara industrialisasi dan teknologi dengan lingkungan tidak selalu sempurna dan serba pasti, sehingga dampak negatif baru dapat diungkapkan atau diketahui oleh para ahli setelah bertahun-tahun kemudian. Dampak negatif itu sendiri seringkali bersifat kerugian yang tidak dapat dipulihkan kembali (irreviersible damage). Oleh sebab itu, langkah-langkah perlindungan lingkungan tetap perlu dilakukan meskipun terdapat ketidakpastian ilmiah tentang dampak negatif suatu rencana kegiatan. Prinsip ini juga mengandung makna adanya perubahan tanggungjawab penyajian bukti imiah dari pihak yang menentang kegiatan kepada pihak pendukung atau pelaksana kegiatan.
Prinsip pencemar membayar
Prinsip pencemar membayar (Polluter-Pays Principle) yang juga disebut Prinsip Internalisasi Biaya dirumuskan dalam Prinsip 16 Deklarasi Rio yang berbunyi:
“National authorities should endeavour to promote the internalization of environmental costs and the use of economic instruments, taking into account the approach that polluter should, in principle, bear the cost of pollution , with due regard to the public interest and without distorting international tarde and investment.” Rumusan Prinsip 16 mengandung makna bahwa pemerintah negara peserta Konferensi Rio harus menerapkan kebijakan internalisasi biaya lingkungan dan penggunaan instrumen ekonomi. Internalisasi biaya berarti setiap pelaku usaha harus memasukkan biaya-biaya lingkungan yang ditimbulkan oleh usahanya ke dalam biaya produksi. Prinsip pencemar membayar mencerminkan perubahan perilaku usaha. Di masa lalu sebelum lahirnya kesadaran lingkungan, biaya dampak negatif dari kegiatan usaha dipikul oleh pihak lain. Misalkan, sebuah industri membuang limbahnya ke sungai dan sungai itu oleh penduduk dimanfaatkan juga untuk usaha tambak ikan. Pembuangan limbah itu mengakibatkan sungai tercemar yang akhirnya mencemari usaha tambak ikan. Pencemaran ini tentunya telah menimbulkan biaya-biaya bagi petani tambak. Dengan penerapan prinsip pencemar membayar, pengusaha industri diwajibkan memperhitungkan biaya-biaya lingkungan yang mungkin timbul sebagai biaya produksinya.
Prinsip demokrasi dan peranserta masyarakat (prinsip 10).
Prinsip demokrasi dan peranserta masyarakat atau kadang disebut prinsip penyelenggaraan pemerintahan yang baik dirumuskan dalam Prinsip 10 Deklarasi Rio yang berbunyi sebagai berikut:
Environmental issues are best handled with the participation of all concerned citizens, at the relevant level. At the national level, each individual shall have appropriate access to information concerning the environment that is held by public authorities, including information on hazardous material and activities in their communities, and the opportunity to participate in decision-making processes. States shall facilitate and encourage public awareness and participation by making information widely available. Effective access to judicial and administrative proceedings, including redress and remedy, shall be provided.
Keberadaan Prinsip 10 ini menegaskan, bahwa pengelolaan lingkungan hidup bukan semata-mata urusan aparatur pemerintah atau para ahli yang bekerja di instansi-instansi pemerintah, tetapi juga warga atau masyarakat, baik secara perorangan maupun kelompok. Meskipun instansi-instansi pemerintah biasanya didukung oleh para ahli, rencana, kebijakan atau program pemerintah tidak dapat begitu saja diterima dan dilaksanakan tanpa pelibatan masyarakat. Unsur penting dari konsep peranserta masyarakat dalam pengelolaan lingkungan hidup adalah bahwa warga, baik secara perorangan maupun kelompok, memiliki hak untuk memperoleh informasi tentang lingkungan hidup dari instansi pemerintah yang menguasai informasi itu. Oleh sebab itu, negara perlu membuat dan menyediakan prosedur atau mekanisme yang memungkinkan warga mengakses informasi yang tersedia. Negara juga perlu mengembangkan prosedur administrasi maupun hukum yang memungkinkan masyarakat untuk mempertahankan dan memulihkan hak-haknya.
Prinsip bertetangga baik dan kerjasama internasional
Prinsip bertetangga baik dan kerjasama internasional menjadi fundamen bagi hukum lingkungan internasional dan pengembangannya. Prinsip ini dapat ditemukan dalam rumusan Prinsip 18, Prinsip 19 dan Prinsip 27 Deklarasi Rio. Prinsip 18 Deklarasi Rio yang berbunyi sebagai berikut: States shall immediately notify other States of any natural disasters or other emergencies that are likely to produce sudden harmful effects on the environment of those States. Every effort shall be made by the international community to help states on afflicted. Prinsip 18 ini mengandung pengertian, bahwa negara-negara yang mengetahui terjadinya bencana lingkungan – yang berkemungkinan membahayakan lingkungan negara tetangganya – berkewajiban untuk memberitahu negara tetangganya tentang bencana tersebut.
Prinsip 19 menyatakan: States shall provide prior and timely notification sand relevant information to potentially affected States on activities that may have a siginificatnt adverse transboundary environmental effect and shall consult with those States at an early stage and in good faith. Prinsip 19 mengandung pengertian, bahwa negara-negara, yang di dalamnya wilayah mereka terdapat kegiatan-kegitan yang mungkin menimbulkan dampak negatif lintas batas, berkewajiban untuk memberitahu secepatnya negara-negara tetangga tentang kegiatan-kegiatan itu dan melakukan konsultasi lebih awal dengan iktikad baik.
Prinsip 27 menyatakan: States and people shall cooperate in good faith and in a spirit of partnership in the fulfillment of the principles embodies in his Declaration and in the further development of international law in the field of sustainable development. Prinsip 27 mewajibkan negara-negara untuk membangun semangat kerjasama dengan iktikad baik dan kemitraan dalam mewujudkan prinsip-prinsip yang tercantum dalam Deklarasi Rio serta dalam pengembangan lebih lanjut hukum internasional dalam kaitannya dengan pembangunan berkelanjutan. Dengan demikian, Prinsip 18, Prinsip 19 dan Prinsip 27 menjadi fundamen penting bagi bagi pengembangan hukum lingkungan internasional.
3.3. Association of Southeast Asian Nations (ASEAN)
Kesadaran bangsa-bangsa di Asia Tenggara untuk melaksanakan perlindungan dan pelestarian lingkungan hidup ditandai dengan adanya beberapa kerjasama antara mereka. Kerjasama itu antara lain dapat dilihat melalui “Tripartite Agreement” dan Deklarasi Manila. “Tripartite Agreement” adalah kesepakatan antara Indonesia, Malaysia dan Singapore mengenai pencegahan dan penanggulangan pencemaran laut di Selat Malaka dan Selat Singapore. Kesepakatan itu antara lain telah menghasilkan suatu penataan lalu lintas laut di ke dua Selat itu, sebagaimana dituangkan dalam “Indonesia-Malaysia-Singapore (IMS) Traffic Separation Scheme, Rules and Recommendations”.
Deklarasi Manila 1981 antara lain memuat sasaran dan kebijakan-kebijakan berikut:
(a) Objective :
To ensure the protection of the Asean environment and the sustainability of its natural resources so that it can sustain cotinued development with the aim of eradicating poverty and attaining the highest possible quality of life for the people of ASEAN countries.
b) Policy Guidelines :
Foster a common awareness among the people of the ASEAN countries the biological, physical and social environment and its vital significance for sustained development to proceed apace;
Ensure, as far as practicable, that environmentalconsideration are taken into account in development efforts, both on going and future;
Encourage the enactment and enforcement of environmental protection measures in the ASEAN countries;
Foster the development of environmental education programme. ( Danusaputro, 1982, hal. 261 ).
Setelah Deklarasi Manila, negara-negara ASEAN pada tahun 1976 telah menyusun ASEAN Contingensy Plan. Ruang lingkup dari ASEAN Contingency Plan adalah pengendalian dan mitigasi terhadap pencemaran laut karena tumpahan minyak. Tujuan adalah untuk melembagakan langkah-langkah yang tepat dalam pengendalian pencemaran laut. Untuk mencapai tujuan itu, maka dibentuk jaringan kontak antara instansi-instansi berwenang dalam masing-masing negara ASEAN.
Negara-negara ASEAN juga telah menyusun “Rencana Tindak” (Action Plan). Sasaran utama dari Rencana Tindak ini adalah pengembangan dan perlindungan lingkungan laut dan kawasan dan kawasan pesisir bagi kemajuan, kesejahteraan, dan kesehatan genarasi sekarang dan masa mendatang. Rencana Tindak itu antara lain terdiri dari komponen-komponen berikut : analisis lingkungan (environmental assessment), pengelolaan lingkungan (enviromental management), dan langkah-langkah koordinasi (coordinating measures ). .
4. Pengertian dan Pembidangan Hukum Lingkungan
Hukum lingkungan merupakan sebuah cabang dalam disiplin ilmu hukum yang berkaitan dengan pengaturan hukum terhadap perilaku atau kegiatan-kegiatan subjek hukum dalam pemanfaatan dan perlindungan sumber daya alam dan lingkungan hidup serta perlindungan manusia dari dampak negatif yang timbul akibat pemanfaatan sumber daya alam. Dengan demikian, hukum lingkungan tidak senantiasa berkaitan dengan pengaturan perlindungan lingkungan hidup dalam arti pelestarian lingkungan, tetapi juga berkaitan dengan pengaturan pemanfaatan atau penggunaan sumber daya alam seperti air, tanah, laut, hutan, bahan tambang.
Substansi hukum lingkungan mencakup sejumlah ketentuan-ketentuan hukum tentang dan berkaitan dengan upaya-upaya mencegah dan mengatasi masalah-masalah lingkungan hidup. Tentang pembidangan dalam hukum lingkungan, tampaknya di antara para sarjana tidak terdapat kesamaan pandangan. Van den Berg membagi hukum lingkungan kedalam 5 bidang yakni: hukum bencana (Rampen recht), hukum kesehatan lingkungan (milieuhygienerecht), hukum tentang sumberdaya alam (Recht betreffende natuurlijke rijkdommen) atau hukum konservasi, hukum tentang pembagian pemakaian ruang (Recht betreffende verdeling van het ruimtegebruik), hukum perlindungan lingkungan (Milieubescherming recht).
Drupsteen membagi hukum lingkungan ke dalam bidang-bidang berikut ini: hukum kesehatan lingkungan (Milieuhygiene recht), hukum perlindungan lingkungan (Milieubeschermings recht), dan hukum tata ruang (Ruimtelijk ordeningsrecht). Koesnadi Hardjasoemantri berpendapat bahwa hukum lingkungan mencakup aspek-aspek berikut ini: Hukum Kesehatan Lingkungan, Hukum Perlindungan Lingkungan, Hukum Tata Lingkungan, Hukum Pencemaran Lingkungan, Hukum Lingkungan Transnasional/Internasional, Hukum Perselisihan Lingkungan.
Menurut pandangan penulis, hukum lingkungan nasional – dilihat dari permasalahan lingkungan yang menjadi cakupannya – dapat dibedakan atas 4 (empat) bidang, yakni: hukum perencanaan lingkungan, hukum pengendalian pencemaran lingkungan, hukum penyelesaian sengketa lingkungan, dan hukum konservasi sumber daya alam. Hukum perencanaan lingkungan, antara lain, mencakup pokok bahasan analisis mengenai dampak lingkungan dan peruntukan dan pemanfaatan ruang suatu wilayah, tata guna tanah, tata guna air dan pembangunan kawasan pesisir (coastal areas ). Akan tetapi, bidang penataan ruang telah berkembang sebagai bidang hukum tersendiri, yaitu hukum tata ruang.
Hukum pengendalian pencemaran lingkungan, antara lain meliputi ketentuan-ketentuan hukum tentang pencegahan dan penanggulangan pencemaran lingkungan. Dalam bidang ini, beberapa pokok bahasan antara lain berkaitan dengan izin pembuangan limbah, baku mutu lingkungan dan analisis mengenai dampak lingkungan, pengawasan dan sanksi-sanksi hukum administrasi dan pidana terhadap pelaku pencemaran lingkungan. Hukum pencemaran lingkungan ini dapat pula dibedakan atas hukum pencemaran udara, kebisingan, air/sungai dan laut dan pegelolaan bahan berbahaya dan beracun dan limbah bahan berbahaya dan beracun.
Hukum penyelesaian sengketa lingkungan terdiri atas ketentuan-ketentuan hukum penyelesaian sengketa melalui proses peradilan dan tata cara penyelesaian sengketa di luar proses peradilan (alternative dispute resolution). Beberapa pokok bahasan dalam hukum penyelesaian sengketa lingkungan, antara lain, berkaitan dengan hukum acara di Pengadilan Umum dan Pengadilan Tata Usaha Negara, hak gugat, gugatan perwakilan, pembuktian, pertanggungjawaban perdata, negosiasi dan mediasi lingkungan.
Hukum konservasi sumberdaya alam hayati mencakup ketentuan-ketentuan hukum yang berkaitan dengan izin pengambilan sumber daya alam, kriteria baku kerusakan lingkungan, perlindungan sumber daya alam, analisis mengenai dampak lingkungan tentang pemanfaatan sumber daya alam, sanksi-sanksi hukum administrasi dan pidana yang berkaitan dengan pengambilan dan pemanfaatan sumber daya alam.
5. Posisi Hukum Lingkungan Dalam Konteks Ilmu Hukum.
Sebagai sebuah disiplin dalam ilmu hukum, hukum lingkungan mempunyai karakteristik yang khas terutama jika dikaitkan dalam penempatannya ke dalam bidang-bidang hukum publik dan privat yang lazim dikenal dalam studi ilmu hukum. Kekhasan hukum lingkungan terletak pada substansinya atau kepentingan-kepentingan tercakup di dalamnya sangat luas dan beragam sehingga hukum lingkungan tidak dapat ditempatkan pada salah satu di antara kedua bidang hukum, yaitu hukum publik dan privat.
Baik para sarjana di Amerika Serikat, Negeri Belanda dan di Indonesia mengakui bahwa hukum lingkungan mengandung segi-segi hukum perdata, hukum pidana dan hukum administrasi Negara. Rodgers Jr, seorang sarjana kebangsaan Amerika Serikat, berpendapat bahwa hukum lingkungan tidak dapat dipisahkan dari bidang-bidang kajian atau disiplin lain dalam ilmu hukum. Menurut Rodgers JR, hukum lingkungan berkaitan dengan hukum administrasi negara, tanggunggugat perdata (civil liabilities) dan hukum pidana.
Drupsteen, seorang sarjana berkebangsaan Belanda, melihat hukum lingkungan sebagai bidang studi hukum yang mengandung segi-segi hukum pemerintahan (bestuur recht), hukum perdata, hukum pidana sehingga dikenal adanya hukum lingkungan perdata (privaatrechtelijk milieurecht ) dan hukum lingkungan pidana (straafrechtelijk milieurecht). Koesnadi Hardjasoemantri dan Siti Sundari Rangkuti tampaknya mempunyai pandangan yang sama dengan Rodgrers Jr. dan Drupsteen mengenai karakteristik hukum lingkungan. Kedua pakar hukum lingkungan Indonesia itu juga melihat substansi hukum lingkungan mengandung unsur-unsur hukum administrasi negara, hukum perdata dan hukum pidana.
Akan tetapi jika dibandingkan segi hukum apakah yang paling dominan di antara ketiga segi hukum itu, maka menurut Drupsteen, segi hukum administrasi (bestuur recht) yang paling dominan. Dengan kata lain, Drupsteen memandang bahwa hukum lingkungan sebahagian besar memuat ketentuan-ketentuan hukum administrasi. Pandangan ini tampaknya didasarkan pada fakta bahwa pemerintah mempunyai peran penting dalam perumusan kebijakan pengelolaan lingkungan hidup dan implementasi kebijakan pengelolaan lingkungan hidup.
Di samping hukum lingkungan (nasional), dikenal dan berkembang pula hukum lingkungan internasional. Dari aspek pengajaran di Fakultas Hukum, hukum lingkungan internasional merupakan bidang yang terpisah dari hukum lingkungan nasional. Hukum lingkungan internasional lahir dari perjanjian-perjanjian internasional maupun deklarasi-deklarasi dan putusan-putusan Mahkamah Internasional atau arbitrase internasional. Namun, karena masalah-masalah lingkungan bersifat global dan regional, maka pengaturan hukum lingkungan nasional dipengaruhi oleh pengaturan tingkat internasional. Buku ini lebih memfokuskan pada pembahasan hukum lingkungan nasional, meskipun pada beberapa bagian akan menyinggung norma atau konsep-konsep yang telah diadopsi oleh instrumen-instrumen hukum internasional seperti Deklarasi Stockholm dan Deklarasi Rio.
6. Teori-Teori Pengembangan Hukum Lingkungan
Dalam kepustakaan asing dapat ditemukan empat teori atau model tentang bagaimana pengembangan hukum lingkungan sebaiknya dilakukan. Keempat teori itu adalah teori pendekatan ekonomi (the economic account), teori hak (rights account), teori paternalisme (the paternalism account) dan teori nilai publik (the public values account). Keempat aliran itu akan diuraikan secara garis besar dalam bagian ini.
6.1. Pengembangan Hukum Lingkungan Berdasarkan Teori Pendekatan Ekonomi
Posner, salah seorang sarjana penganjur terkemuka teori pendekatan ekonomi terhadap hukum, berpandangan bahwa teori pendekatan ekonomi terhadap hukum semestinya menjadi landasan dan acuan bagi pengembangan dan analisis terhadap hukum pada umumnya. Teori pendekatan ekonomi terhadap hukum mengandung aspek-aspek heuristik, deskriptif dan normatif. Dari aspek heuristik, teori ini berusaha membuktikan adanya pertimbangan-pertimbangan atau argumen-argumen ekonomi yang melandasi doktrin-doktrin dan institusi-institusi hukum. Dari aspek deskriptif, teori ini berusaha mengidentifikasi adanya logika-logika ekonomi dan pengaruh-pengaruh ekonomi dari doktrin dan institusi-institusi hukum, serta alasan-alasan ekonomi yang menyebabkan terjadinya perubahan- perubahan hukum. Dari aspek normatif, teori ini mendorong para pembuat kebijakan dan pengambilan keputusan publik, serta para hakim agar dalam membuat pengaturan hukum dan putusan-putusan pengadilan semestinya memperhatikan prinsip efisiensi.
Dalam konteks penerapannya ke dalam hukum lingkungan, teori pendekatan ekonomi sangat dipenguaruhi oleh asumsi-asumsi dasar ilmu ekonomi yang memandang masalah-masalah lingkungan bersumber dari dua hal, yaitu kelangkaan (scarcity) sumber daya alam dan kegagalan pasar (market failure). Kedua konsep ini perlu dipahami dalam rangka memahami pednekatan ekono terhadap hukum.
Kelangkaan sumber daya alam menjadi sumber permasalahan dalam kehidupan manusia. Manusia menginginkan banyak hal seperti rumah bagus, mobil bagus, pendidikan, sarana jalan yang baik, tempat wisata yang indah, lingkungan yang bersih dan sehat, budaya dan seni yang maju dan sebagainya. Manusia mengandalkan sumber daya alam untuk dapat memenuhi keinginan-keinginan itu. Masalahnya adalah bahwa sumber daya alam tidak mampu menopang atau memenuhi semua keinginan manusia itu. Oleh sebab itu, perlu ada kebijakan dari pemerintah tentang alokasi pemanfaatan sumber daya alam. Kebijakan alokasi yang baik adalah kebijakan yang dapat memaksimalkan kepuasan atau keinginan masyarakat yang mencerminkan kepuasan atau keinginan orang perorangan. Karena masyarakat terdiri atas berbagai kelompok orang yang memiliki kepentingan yang berbeda, maka alokasi pemanfaatan sumber daya alam harus diadasarkan pada kriteria Pareto optimal, yaitu sebuah kebijakan pemanfaatan sumber daya alam yang dapat meningkatkan kesejahteraan sejumlah orang , tetapi tanpa memperburuk kesejahteraan kelompok lainnya. Misalkan Pemerintah memutuskan, bahwa di suatu kawasan pantai diizinkan berdiri kawasan industri yang dapat meningkatkan kesejahteraan penduduk, antara lain berupa penyerapan tenaga kerja dan pembayaran pajak, tetapi kebijakan pengembangan sektor industri tidak boleh menyebabkan penurunan kesejahteraan penduduk nelayan karena penurunan jumlah penghasilan akibat penurunan jumlah tangkapan ikan sebagai akibat pencemaran laut yang bersumber dari limbah kegiatan industri.
Pendekatan ekonomi terhadap hukum lingkungan juga menggunakan dua asumsi dalam ilmu ekonomi. Asumsi pertama adalah bahwa semua barang termasuk sumber daya alam, baik hayati dan bukan hayati merupakan komoditi yang dapat diukur secara kuantitatif. Kedua, nilai atau harga dari semua komoditi, termasuk sumber daya alam, dapat diukur atau dibandingkan dengan nilai mata uang yang mencerminkan seberapa besar orang perorangan mau membayar untuk memperoleh berbagai barang atau komoditi. Para penganut pendekatan ekonomi terhadap hukum juga menganggap timbulnya masalah-masalah lingkungan yaitu pencemaran dan perusakan lingkungan bukan sebagai wujud perbuatan tercela, tetapi merupakan wujud dari kegagalan pasar (market failure). Pasar adalah bertemunya antara penawaran dan permintaan atas suatu barang atau jasa. Namun, dalam kenyataannya tidak semua barang atau jasa yang dapat diperjualbelikan dalam pasar ekonomi. Barang-barang yang disebut barang publik (public goods) seperti ruang udara, sungai dan danau tidak dapat menjadi objek hak perorangan sehingga setiap orang dapat memanfaatkan barang-barang itu untuk kepentingan masing-masing. Sungai, misalnya dapat digunakan oleh banyak orang untuk berbagai kepentingan seperti tempat pembuangan limbah, cuci mandi, berenang, usaha tambak ikan dan lalu lintas sungai. Oleh karena setiap orang dapat menggunakan barang atau benda publik sesuai kebutuhan masing-masing, maka orang tidak mau memberikan harga atas penggunaan barang publik. Sebaliknya, tanah atau lahan dapat menjadi barang privat dan menjadi objek hak perorangan karena tanah atau lahan dapat ditentukan batas-batasnya. Seorang pemilik tanah dapat sepenuhnya memanfaatkan tanah sesuai kepentingannya serta dapat mencegah pihak lain untuk tidak menggunakan tanahnya , misalkan dengan membangun pagar tembok atau kawat berduri. Penggunaan oleh pihak lain hanya dapat dilakukan atas izin pemilik tanah, misalkan dengan hak sewa atau hak pakai atau jual beli. Oleh sebab itu, tanah dapat objek penawaran dan permintaan dalam pasar ekonomi. Sebaliknya ruang udara, sungai dan danau tidak dapat menjadi objek penawaran dan permintaan karena misalkan seseorang bersedia membayar untuk memperoleh ruang udara atau air sungai yang sehat dan bersih, atau bebas dari zat-zat pencemar, tetapi dia tidak akan dapat mencegah orang lain yang tidak ikut membayar untuk juga menikmati udara bersih. Karena ketidakmungkinan untuk mencegah pihak lain yang tidak ikut membayar (free riders) ikutserta menikmati manfaat dari udara atau sungai bersih, maka seseorang tidak akan mau membayar untuk memperoleh udara atau sungai bersih. Akibatnya, setiap orang bebas menggunakan barang-barang publik itu sesuai kepentinganya masing-masing.
Selanjutnya, para penganjur pendekatan ekonomi terhadap hukum lingkungan berpandangan bahwa kegagalan pasar semestinya diatasi dengan kebijakan dan hukum yang dibangun berdasarkan prinsip efisiensi. Jadi, bagi penganut pendekatan ekonomi terhadap hukum, efisiensi merupakan prinsip pokok untuk menilai apakah sebuah aturan hukum atau kebijakan atau putusan pengadilan dapat diterima atau ditolak. Untuk mengetahui apakah sebuah hukum atau kebijakan atau putusan pengadilan efisien atau tidak dapat dilakukan dengan membandingkan antara manfaat dan biaya . Manfaat (benefits) yang diperoleh dari pemberlakukan atau pengaturan hukum terhadap kegiatan usaha atau industri harus dibandingkan atau diukur dengan biaya (cost) yang ditimbulkan akibat pengaturan atau pemberlakukan hukum itu. Jika ternyata manfaatnya lebih kecil dari biayanya, maka menurut para penganut teori pendekatan ekonomi terhadap hukum lingkungan, hukum lingkungan yang diberlakukan itu merupakan hukum yang tidak efisien. Hukum lingkungan yang tidak efisien akan menghambat peningkatan kesejahteraan masyarakat secara menyeluruh. Selain konsep kegagalan pasar dan konsep efisiensi, masih terdapat konsep-konsep lain dalam argumen-argumen para penganjur pendekatan ekonomi terhadap hukum lingkungan yang perlu lebih dahulu dipahami supaya kita dapat memperoleh pemahaman tentang teori ini. Konsep-konsep itu adalah harga (prices) dan eksternaliti (externality).
Dalam kepustakaan disebutkan, bahwa harga atas suatu barang atau jasa secara teoritik harus mencerminkan atau mencakup seluruh biaya yang diperlukan, misalkan upah buruh, biaya pembelian bahan mentah, biaya pembelian mesin, biaya transportasi dan biaya-biaya lain dalam memproduksi barang tersebut. Akan tetapi pada kenyataannya harga sebuah produk tidak selalu mencerminkan atau mencakup semua komponen biaya yang diperlukan dalam memproduksi barang dan jasa yang bersangkutan sehingga menimbulkan apa yang dinamakan eksternaliti (externality). Konsep eksternaliti mengandung pengertian, bahwa pelaku usaha dalam menjalankan usahanya telah menimbulkan biaya-biaya kepada pihak lain. Misalkan, sebuah pabrik yang tidak mengolah limbahnya dan dibuang begitu saja ke sungai sehingga sungai tercemar sementara sungai juga dimanfaatkan oleh petani tambak ikan dan penduduk lain untuk kebutuhan sehari-hari. Akibatnya para petani tambak dan penduduk mengalami harus menanggung kerugian.
Bagi para penganjur pendekatan ekonomi terhadap hukum lingkungan, masalah-masalah lingkungan misalkan pencemaran lingkungan dipandang semata-mata sebagai bentuk eksternaliti akibat pasar tidak memasukkan seluruh unsur biaya yang semeterinya dimasukkan ke dalam harga dari produk yang bersangkutan. Jadi, eksternaliti semata-mata dipandang sebagai akibat kegagalan pasar. Oleh sebab itu, pengaturan hukum lingkungan hanya dapat dibenarkan apabila hukum lingkungan berfungsi sebagai upaya rasional untuk memperbaiki kegagalan pasar (the failure of market) dalam mengalokasi penggunaaan sumber daya alam secara efisien atau untuk mencapai pendistribusian kekayaan secara lebih adil. Teori pendekatan ekonomi juga dilengkapi dengan metode pengambilan keputusan yang dianggap bebas bebas nilai, yaitu analisis biaya dan manfaat (cost benefit analysis). Dengan metode pengambilan keputusan yang bebas nilai dan objektif, para pejabat pengambil keputusan diharapkan mampu membuat keputusan-keputusan atau kebijakan-kebijakan secara rasional dan objektif serta terhindar dari pertimbangan subjektif dan nilai-nilai pribadinya.
6.2. Pengembangan Hukum Lingkungan berdasarkan Teori Hak
Pengembangan hukum lingkungan berdasarkan teori hak dipengaruhi oleh filsafat moral atau etika. Aliran filsafat ini menganggap perbuatan yang menimbulkan pencemaran dan perusakan lingkungan merupakan perbuatan jahat (evils) sehingga masyarakat atau negara wajib untuk menghukum perbuatan semacam itu. Teori hak ini juga mencakup dua aliran pemikiran, yaitu libertarianisme di satu sisi dan aliran pemikiran tentang hak-hak hewan (animal rights) di sisi lain. Libertarianisme menolak argumen dari teori pendekatan ekonomik yang menganggap pencemaran dan perusakan lingkungan sekedar sebagai masalah ketidakefisienan dan ketidakadilan distribusi sumber daya alam, tetapi libertarisnisme secara tegas menganggap perbuatan mencemari dan merusak lingkungan merupakan bentuk pelanggaran terhadap hak-hak pribadi dan hak-hak kebendaan. Oleh karena itu, menurut libertarianisme, hukum lingkungan harus mewajibkan para pelaku usaha untuk terus menerus meminimalisasi tingkat pencemaran atau perusakan lingkungan dan kemudian meniadakan sama sekali pencemaran dan perusakan lingkungan. Hal ini dapat dilakukan dengan merumuskan peraturan perundang-undangan yang dapat mendorong lahirnya innovasi teknologi pencegah pencemaran (technology-forcing pollution control legislation).
Bagi libertarianisme, jika sebuah sistem hukum mengakui keberadaan hak atas lingkungan hidup, maka hak itu berfungsi sebagai pelindung bagi perorangan pemegang hak untuk menolak keputusan-keputusan atau kebijakan pemerintah yang bertentangan atau mengancam hak atas lingkungan hidup, meskipun keputusan atau kebijakan pemerintah secara ekonomi dianggap efisien. Oleh karena itu, libertarianisme menolak pandangan penganut pendekatan ekonomi, bahwa pencemaran atau perusakan lingkungan yang merugikan sejumlah orang dapat diterima atau ditolerir sepanjang kegiatan-kegiatan yang menimbulkan pencemaran dan perusakan lingkungan memberikan manfaat bagi masyarakat secara keseluruhan dan manfaat itu melebihi biaya yang ditimbulkan oleh kegiatan itu. Hak-hak lingkungan hidup yang ingin diwujudkan oleh para penganut teori hak tidak hanya hak untuk generasi masa kini, tetapi juga hak-hak generasi masa datang.
Sebagian aktivis lingkungan hidup berpendapat, bahwa kegiatan-kegiatan perburuan hewan baik karena motif ekonomi maupun karena hobi harus dilarang jika kegiatan-kegiatan itu dapat membahayakan keberlanjutan eksistensi dari hewan atau spesies itu. Dengan kata lain, kegiatan-kegiatan itu dapat mengakibatkan kepunahan hewan. Hewan merupakan bagian dari lingkungan hidup, sehingga kepunahan hewan tertentu dapat menggangu integritas dan stabilitas lingkungan hidup jika tidak dalam jangka pendek mungkin dalam jangka panjang. Terganggunya integritas dan stabilitas lingkungan hidup dapat pula mengganggu keberadaan atau kepentingan manusia karena manusia hidup dalam dan merupakan bagian dari lingkungan hidup.
Selain atas dasar kepentingan praktis, yaitu adanya ancaman kepunahan hewan, beberapa sarjana atas dasar moral juga menentang kegiatan-kegiatan penggunaan hewan sebagai objek eksperimen dan perburuan hewan. Mereka berpendapat bahwa meskipun kegiatan-kegiatan itu tidak akan membahayakan eksistensi hewan, tetapi kegiatan-kegiatan itu secara moral patut dicela karena kegiatan-kegiatan itu dapat menimbulkan rasa sakit atau penderitaaan hewan yang bersangkutan. Para penganjur hak-hak hewan menentang praktik-praktik eksperimen yang menggunakan hewan, misalkan kera atau monyet, sebagai objek percobaan pembedahan atau pemberian dosis obat atau racun karena praktik-praktik itu dapat menimbulkan rasa sakit bagi makhluk kera atau monyet.
Beberapa sarjana mengusulkan perlunya membangun etika ekologis dan perlindungan hak-hak hewan sebagai dasar bagi hukum dan kebijakan lingkungan hidup. Aldo Leopold mengusulkan perlunya konsep etika tanah (land ethic), yaitu aturan perilaku untuk melindungi komunitas yang tidak saja terdiri atas manusia, tetapi juga mencakup tanah, air, tumbuh-tumbuhan dan hewan-hewan. Sebuah kebijakan atau perbuatan adalah dianggap baik, bila kebijakan itu tidak mengancam integritas, stabilitas, dan keindahan komunitas. Dengan demikian, Leopold menginginkan adanya perlakuan yang sama terhadap semua makhluk sebagai bagian dari komunitas etik. Peter Singer mengusulkan bahwa semua mahkluk, baik manusia maupun bukan asalkan makhluk itu dapat mengekspresikan rasa sakit atau penderitaannya seharusnya dipandang setara secara moral. Para penganjur hak-hak hewan dalam memperkuat argument mereka, bahwa hewan juga perlu diakui hak-hak moralnya sering menggunakan ungkapan Bentham: “the question is not, Can they reason? nor, Can they talk? But can Can they suffer? (persoalannya bukan, apakah mereka dapat bernalar atau dapat berbicara, tetapi apakah mereka dapat mengalami penderitaan). Oleh karenanya, menurut para penganjur hak-hak hewan, hewan-hewan memiliki hak untuk hidup (the right to life) , hak untuk bebas (the right to freedom) dan hak untuk kebahagiaan (the right to happiness).
Namun, para penganjur hak-hak hewan ini mengakui, bahwa apa yang mereka maksudkan hak-hak hewan tidak sama sepenuhnya dengan hak-hak yang dimiliki manusia. Hak hewan untuk hidup diartikan bahwa hewan-hewan tidak boleh dibunuh hanya sekedar untuk memenuhi kebutuhan manusia yang bersifat kemewahan atau hiburan manusia. Sekedar contoh, dewasa ini beberapa jenis hewan seperti singa laut diburu dan dibunuh hanya untuk mengambil dan menggunakan bulunya sebagai bahan pakaian musim dingin para selebriti atau orang-orang kaya. Begitu juga, banyak gajah diburu dan dibunuh hanya untuk mengambil gadingnya yang akan dijadikan pipa rokok atau bahan kursi dan meja (furniture). Jika manusia memiliki hak kebebasan berarti seorang manusia tidak boleh dipenjarakan tanpa melalui proses hukum yang adil (due process), maka hewan juga memiliki hak kebebasan, tetapi dengan isi hak yang berbeda dari hak kebebasan manusia. Hak kebebasan hewan diartikan bahwa mereka tidak boleh dikurung dalam kandang-kandang yang sempit yang membuat mereka tidak leluasa bergerak, tetapi boleh dikurung dalam kandang yang memungkinkan mereka leluasa bergerak atau dikurung dalam kawasan dengan kondisi-kondisi yang mirip dengan habitat alami mereka. Hak untuk kebahagian bagi hewan adalah hak untuk tidak diperlakukan secara kejam yang mengakibatkan penderitaan atau timbulnya rasa sakit bagi hewan yang bersangkutan.
Jika Leopold dan Singer mengusulkan perlunya hak-hak moral bagi hewan, Stone bahkan lebih jauh mengusulkan perlunya lingkungan hidup alami seperti tanah, sungai, hutan dan hewan diberi hak-hak hukum (legal rights). Stone selanjutnya menjelaskan makna dari hak hukum, yaitu:
An entity cannot be said to hold a legal right unless until some authoritative body is prepared to give some amount of review to actions that are colorably inconsistent with that right….But for a thing to be a holder of legal rights, something more is needed than that some authoritative body will review the actions and process of those who threaten it…. As I shall use the term, holders of rights, each of three additional criteria must be satisfied…. They are, first, that the thing can institute legal action at its behest; second, that in determeining the granting of legal relief, the court must take the injury to it into account; and third, that relief must must run to the benefit of it.
Dari pernyataan Stone tersebut dapat diketahui, bahwa sebuah hak baru memiliki makna bagi pemegang hak itu jika memenuhi beberapa syarat. Pertama, bahwa hukum mewajibkan pejabat atau instansi pemerintah untuk menilai dan mengkaji kegiatan-kegiatan yang mungkin bertentangan dengan atau melanggar hak itu. Kedua, si pemegang hak dapat mengajukan gugatan atas namanya jika haknya terancam. Ketiga, dalam menentukan pemulihan hukum, pengadilan mesti mempertimbangkan kerugian atas hak itu. Keempat, pemulihan itu mesti diberikan untuk kepentingan pemegang hak itu.
Di dalam sistem common law, prasyarat kedua yang dikemukakan Stone, yaitu ”hak mengajukan gugatan” disebut dengan istilah “legal standing”. Bagi manusia memiliki hak tidak akan menimbulkan kesulitan-kesulitan dalam menyuarakan, mempertahankan dan mewujudkan hak-hak atau kepentingannya dalam proses pengadilan maupun proses administrasi karena manusia memiliki kemampuan berbicara atau berkomuniasi. Masalahnya adalah apakah lingkungan hidup atau unsur-unsur lingkungan hidup seperti tanah, sungai dan hutan yang tidak memiliki kemampuan berbicara jika diberi hak dapat menggunakan legal standing untuk memperjuangkan dan menyuarakan hak dan kepentingannya. Namun, Stone menolak pandangan bahwa lingkungan hidup tidak dapat diberi hak hanya karena alasan lingkungan hidup tidak memiliki kemampuan berbicara atau berkomunikasi dan ia menyatakan:
It is not inevitable nor is it wise, that natural objects should have no rights to seek redress in their own behalf. It is no answer to say that streams and forests cannot have standing because streams and forests cannot speak. Corporations cannot speak either; nor can states, estates, infants, incompetents, municipalities or universities. Lawyers speak for them…. The guardian (or conservator or committee – the terminology varies) the represent the incompetent in his legal affairs)
Dengan menggunakan analogi bahwa korporasi, badan hukum privat maupun publik juga tidak dapat memiliki kemampuan berkomunikasi, tetapi system hukum mengakui keberadaan dan hak-hak atau kewenangan subjek hukum bukan manusia itu, maka semestinya pula tidak ada persoalan jika system hukum memberikan hak-hak terhadap lingkungan hidup. Jika korporasi, badan-badan hukum dalam melakukan hubungan atau perbuatan hukum diwakili oleh para pengurus atau pengelolanya, maka pendekatan yang sama dapat diberlakukan terhadap gagasan lingkungan hidup dengan mengkonstruksikan apa yang oleh Stone sebutkan: guardianship. Konsep guardianship menurut Stone jika dikaitkan dengan konteks system hukum Indonesia dapat dipersamakan dengan “pengurus” “penjaga” atau “perwalian”. Stone mengusulkan, bahwa lembaga-lembaga swadaya masyarakat di bidang lingkungan hidup dapat bertindak sebagai guardian atau penjaga dari lingkungan hidup dan dapat mengajukan gugatan atas nama lingkungan hidup jika keadaan lingkungan hidup terancam serta dapat dipandang sebagai wakil dari lingkungan hidup dalam proses legislasi dan proses administrasi, misalkan dalam penetapan baku mutu air di sebuah wilayah. Memang instansi-instansi pemerintah misalkan Departemen Kehutanan, Departemen Pekerjaan Umum dan Departemen Perindustrian pada dasarnya dapat dipandang sebagai institusi-institusi yang telah diserahi untuk mengelola sumber daya alam atas nama negara dan rakyat, tetapi menurut Stone karena instansi-instansi pemerintah juga memikul tugas-tugas lain dan mengemban tujuan-tujuan institusional lainnya, maka lembaga-lembaga swadaya masyarakat di bidang lingkungan dapat memainkan peran penting di samping instansi pemerintah. Oleh sebab itu, di dalam system hukum perlu diatur berbagai prosedur dan syarat-syarat bagi lembaga swadaya masyarakat yang dapat bertindak atas nama dan untuk kepentingan lingkungan hidup. Konsep gugatan lembaga swadaya masyarakat atau yang di dalam kepustakaan Anglos Saxon disebut dengan “standing NGO” dapat dipandang sebagai wujud dari teori hak-hak hukum bagi objek-objek alam yang digagas oleh Stone. Di negara-negara dengan system hukum sipil seperti Belanda dan Indonesia konsep hak gugat lembaga swadaya masyarakat juga telah dirumuskan dalam undang-undang. Di Indonesia, hak gugat lembaga swadaya masyarakat diatur dalam Pasal 38 Undang-undang No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Akan tetapi, tidak semua sarjana setuju dengan teori hak bagi objek-objek alam atau hewan. McCloskey , misalkan, menolak teori bahwa hewan atau objek-objek alam juga punya hak moral apalagi hak hukum karena hanya makhluk yang memiliki kapasitas otonomi diri atau penentuan diri (self determination) yang dapat memiliki hak. Makhluk manusia memiliki kapasitas otonomi diri atau penentuan diri sendiri, sehingga manusia memenuhi syarat untuk memiliki hak-hak. Sebaliknya, hewan tidak memiliki kemampuan otonomi, sehingga tidak memenuhi syarat untuk memiliki hak. Namun, menurut McCloskey, meskipun hewan tidak memuhi syarat untuk memiliki hak, tidak berarti manusia dapat memperlakukan hewan secara semena-mena, justeru sebaliknya manusia memiliki kewajiban (duties) untuk memperlakukan hewan dengan baik, antara lain, tidak menyebabkan kepunahan hewan dan tidak memperlakukan hewan secara kejam atau menyakitkan. Jadi menurut McCloskey pemecahan masalah terhadap kecenderungan perilaku manusia merusak dan mencemari lingkungan bukan dengan membangun konsep hak bagi lingkungan hidup, tetapi dengan merumuskan kewajiban-kewajiban (duties) manusia terhadap alam.
6.3. Pengembangan hukum lingkungan berdasarkan Teori Paternalism.
Teori Paternalism mengandung arti bahwa negara memainkan peran sebagai bapak atau orang tua dalam membimbing perilaku anak-anaknya. Secara kiasan negara dipandang sebagai bapak atau orang tua, sedangkan warga negara diartikan sebagai anak-anak. Orang tua memiliki tanggungjawab untuk mengarahkan dan mendidik anak-anaknya, sebab jika anak-anak tidak dibimbing, maka perilakunya hanya menuruti kesukaannya (preference). Kesukaannya itu mungkin tidak selalu bernilai positif, bahkan dapat bersifat negatif yang pada akhirnya merusak dirinya sendiri. Misalkan, sebagian besar ahli kesehatan sepakat, bahwa merokok membahayakan kesehatan si perokok, dan juga orang-orang sekitarnya, tetapi masih banyak orang suka merokok. Jika negara tidak campur tangan dengan cara mengeluarkan kebijakan atau hukum yang membatasi ruang gerak para perokok, maka kebiasaan merokok akan menimbulkan kerugian tidak saja bagi si perokok, tetapi juga orang-orang lain. Contoh lain adalah penggunaan sabuk pengaman ketika mengenderai mobil. Berbagai penelitian telah membuktikan, bahwa penggunaan sabuk pengaman dapat mencegah kerugian yang lebih parah akibat terjadinya kecelakaan, tetapi masih banyak para pengendara mobil tidak mau untuk mengenakan sabuk pengamannya. Oleh sebab itu, negara, perlu membatasi kebebasan individual ini dengan cara mewajibkan pemakaian sabuk pengaman. Dengan demikian, teori paternalism dibangun atas dasar asumsi, bahwa manusia secara individual seringkali melakukan perbuatan-perbuatan yang merugikan dirinya atau membuat pilihan-pilihan yang tidak matang atau bodoh (foolish choices).
Secara analogis persoalan perilaku merokok dan perilaku pengendara mobil dapat diterapkan ke dalam konteks hukum lingkungan. Jika setiap orang diberi kebebasan untuk berbuat menurut apa yang dikehendakinya (preferences), maka lingkungan hidup akan terancam. Perilaku individual manusia seringkali dilatarbelakangi oleh berbagai motif subjektif yang tidak sesuai dengan tujuan-tujuan kehidupan bersama dalam masyarakat atau negara. Secara individual manusia dapat seenaknya membuang sampah ke sungai, ke jalan-jalan atau melakukan kegiatan yang menimbulkan dampak negatif yang lebih parah seperti penebangan kayu hutan tanpa terkendali atau pembuangan limbah bahan berbahaya dan beracun ke media lingkungan hidup.
Dengan demikian, diperlukan kehadiran berbagai peraturan perundang-undangan lingkungan yang dimaksudkan untuk mencegah perbuatan-perbuatan yang tidak saja merugikan dirinya, tetapi juga masyarakat secara keseluruhan, serta untuk mengubah atau mengarahkan kesukaan warga demi kebaikan masyarakat secara keseluruhan. Misalkan, pemerintah perlu menetapkan sebuah kawasan sebagai hutan lindung atau hutan konservasi, taman nasional yang tidak membolehkan adanya kegiatan penebangan kayu, terutama di zona inti. Pemerintah juga mengundangkan undang-undang tentang perlindungan satwa karena satwa juga punya nilai ekologis. Hutan lindung, hutan konservasi, taman nasional atau perlindungan satwa merupakan kebijakan yang perlu dibuat oleh pemerintah agar kawasan hutan dan satwa tidak terancam punah, sebab kawasan hutan maupun satwa liar memiliki arti penting bagi kehidupan manusia. Jika beberapa jenis sumber daya alam baik yang hayati dan non-hayati terancam, maka akan menggangu keseimbangan lingkungan hidup. Karena manusia adalah bagian dari lingkungan hidup, maka terganggunya keseimbangan lingkungan dan sumber daya alam, pada akhirnya akan merugikan manusia secara keseluruhan. Akan tetapi, agar pendekatan paternalism tidak melanggar kebebasan dan hak individual, pengaturan hukum atau kebijakan yang dibangun atas dasar teori paternalism diperlukan keterbukaan institusi-institusi pemerintah dan individu-individu memiliki akses dalam proses politik yang menghasilkan kebijakan paternalism negara.
6.4. Pengembangan Hukum Lingkungan Berdasarkan Teori Nilai Kebijakan Publik.
Teori nilai kebijakan public (the public values) menjelaskan, bahwa pertukaran pandangan atau musyawaah mufakat (deliberative process) di antara berbagai pemangku kepentingan (stake holders) dapat menjadi dasar bagi pembuatan keputusan yang rasional. Pertukaran pandangan dilandasi oleh sifat keterbukaan pemikiran (openness of mind), kejujuran (honesty), kesediaan untuk mendengar kritik, dan penghargaan atas pandangan-pandangan pihak yang berbeda menjadi dasar pengambilan keputusan bersama (collective choice). Menurut teori nilai kebijakan publik, wakil-wakil dari berbagai pemangku kepentingan dalam proses legislasi harus mampu mengatasi benturan kepentingan dengan cara menempatkan kepentingan bersama (public goods) di atas kepentingan konstituen mereka. Para anggota badan legislatif harus mampu membangun konsepsi kepentingan bersama. Apa yang dimaksud dengan kepentingan bersama dapat diperoleh melalui pertukaran pandangan dalam proses politik. Dalam proses ini, para anggota badan legislatif setelah memperhatikan berbagai usulan atau pandangan dari berbagai pemangku kepentingan membuat keputusan dengan mengacu pada apa yang mereka anggap sebagai kepentingan publik dan bangsa.

0 komentar:

Post a Comment

Powered by Blogger.

Pages

About me

Abdulloh Yugo Prayogo. anak kecil yang sangat haus dengan yang namanya teknologi, tapi tetep berusaha untuk memahami dan mengikuti perkembangan tentang teknologi di masa yang akan datang.

Popular Posts

Blog Archive